21 Oktober 2012

Hot (and Cold) Water Beach



“Take your shovel and headlight with you”

“It’s raining outside, you got your raincoat? Don’t forget your swimsuit”

Marcel dan Marius sibuk mengingatkan saya sebelum kita pergi ke pantai.

11 pm.

Yes, indeed. Hampir tengah malam buta, hujan-hujan, di New Zealand yang dingin pula.



Saya dan teman-teman sedang berada di Hot Water Beach, sebuah area di pantai Timur Coromandel Peninsula, New Zealand.  Lokasi tempat ini sekitar 175 km dari Auckland. Sesuai namanya, pantai ini dinamakan Hot Water Beach karena mata air panas bawah tanah yang mengalir keluar pada saat pasang naik dan pasang surut. Unik karena seperti pantai lainnya di New Zealand, Hot Water Beach ini juga sangat dingin. Lalu dari mana air panas itu berasal? Sekitar 2-3 meter dari batas air pantai terlihat semua orang memegang sekop dan sibuk menggali pasir. Tujuannya bukan untuk membuat istana pasir, tetapi untuk membuat kolam. Ajaibnya, air yang keluar dari dalam pasir bukan merupakan air dingin, melainkan air panas! Hot! And when I said hot, I mean boiling hot. Saya, Marcel, Bettina, Marius dan teman-teman lain dengan semangat 45 menggali kolam besar untuk ‘hot tub’ kami.


Tiada sekop, tanganpun jadi!



Half way there!

Penduduk setempat mengatakan bahwa kita hanya bisa menggali pasir disaat pasang yang adalah sekitar jam12 siang dan 12 malam. Si Marcel, backpacker dari Jerman, dengan menggebu-gebu mengajak kami semua untuk datang lagi jam 11 malam ke pantai yang jaraknya 1km dari hostel. Kita cuma ketawa aja bilang iya, secara nggak mungkinlah ya tengah malam dingin-dingin pergi ke pantai buat berendam doang. Enakan tidur, selimutan. Pas lagi kongkow-kongkow di living room hostel jam 10 malem, beneran dong si Marcel dan Marius dateng-dateng pake windbreaker jacket bawa sekop dan headlight sambil nyari orang buat pergi ke pantai. Sontak semua orang mencari-cari alasan biar bisa menhindar untuk pergi. 

“Indonesia, are you coming?” tanya Marcel.

Karena tersihir oleh kegantengan dosen muda itu tiba-tiba bibir saya dengan lemahnya mengucapkan “Alright” ---WHAT???! What did I say???--- lima menit kemudian saya pun menyesal karena itu malam dingin banget dan gerimis pula. 

Sumpah selama sepuluh menit jalan kaki ke pantai itu saya ngerasa bego banget. Bego karena meninggalkan kenyamanan kasur dan selimut saya di hostel demi cowok ganteng. Untuk menghibur, Marcel mengajari saya lagu anak-anak tentang bebek berenang di pantai dalam bahasa Jerman. Setelah jalan sambil lompat-lompat untuk menghangatkan badan, tiba-tiba Marius berteriak “Ada binatang!” Sontak kami berhenti dan menyinari binatang tersebut. Ternyata binatang yang kami lihat bukan sembarang binatang... tapi PENGUIN sodara-sodara! Pertama kali liat penguin!! Kami bertiga girang luar biasa. Sibuk langsung kami mengamati sambil foto-foto. Sesuatu yang sekarang saya sesali ketika tau bahwa Penguin sangat sensitif terhadap cahaya. Seharusnya kita tidak boleh memotret dengan flash dan menyinari mereka dengan lampu berwarna putih atau kuning. Harus lampu berwarna merah. Saya baru tau informasi ini ketika Couchsurfing Gathering – Penguin hunting di St.Kilda, Melbourne sebulan setelah itu.

Anyway, ketika sampai di spot kami siang tadi, ternyata orang gila di pantai itu bukan Cuma kami. Sudah ada dua blokes (pria) lain yang tengah berendam sambil minum beer. “Take your spot and join the club mates!” seru mereka. Marcel dan Marius langsung sibuk menggali. Saya? Memberi support, doa dan bantuan penerangan. Setelah besar dan kedalaman dirasa cukup untuk kami bertiga, tanpa basa-basi kami melompat ke dalam. Detik kemudian saya dan Marcel melompat keluar dengan alasan berbeda.

“Shit, it’s cold!” teriak Marcel.

“Cold?? It’s freakin’ boiling hot over here” protes saya.

Aneh karena posisi kami hanya berjarak 30cm saja. Akhirnya kami pun berdesak-desakan di sebelah Marius yang sudah menemukan posisi nyaman, terlihat dari cengirannya yang lebar. 

“So, are you happy now I took you here?” tanya Marcel.

“Yes I am, thank you Marcel” jawab saya sambil tersenyum.

Sungguh sensasi yang luar biasa. Separuh badan ke bawah kita menikmati panasnya sumber air, sedangkan separuh badan ke atas badan menggigil kedinginan diterpa angin dan rintik hujan gerimis. Tiga puluh menit lamanya kami bertahan di pantai itu. Mendambakan kenyamanan kasur dan selimut, kami bertiga bergegas kembali ke hotel sambil mencari-cari penguin yang nampaknya sudah menghilang, mencari jalannya sembunyi dari kami.


3 komentar: